Garuda Power adalah film dokumenter
sederhana yang bercerita tentang sejarah filmaction Indonesia sejak era ’20-an dan ’30-an,
lalu masa jaya pada era ’70-an, sampai era ’90-an ketika genre ini meredup
hingga akhirnya dua jilid film The
Raid meledak pasar perfilman
indonesia.
Film dokumenter ini di sutradarai oleh Bastian Meiresonne. Dalam
film ini, ia menunjukkan kembali bahwa film-film action Indonesia punya kaitan erat dengan 'exploitation
film' dari
Hong Kong, Jepang dan Hollywood serta juga kuat dipengaruhi oleh komik. Seperti
pada adegan-adegan beladiri, gaya penampilan sang aktor, dsb.
Menurut saya film ini menarik karena
Bastian membuatnya berdasarkan riset terhadap arsip-arsip film dan wawancara
dengan para tokoh, mulai dari sejarawan film dan komentator budaya, para
pembuat film dan aktor veteran, juga warga masyarakat penikmat film. Dalam film
tersebut diceritakan bahwa ada beberapa orang yang tidak menganggap film yang
dibuat sebelum tahun 1950an merupakan bagian dari perfilman Indonesia.
Menariknya lagi, dalam wawancara ataupun
diskusi dalam film dokumenter tersebut juga ikut menampilkan cuplikan
gambar-gambar menarik tentang bagaimana film perang patriotik yang dibuat oleh
Usmar Ismail, munculnya gaya petualangan "Djakarta-Hong Kong-Macao",
Comicbook yang menginspirasi film superhero "Rama Superman Indonesia"
dan banyak seni bela diri di tahun 60-an dan 70-an yang berkaitan dengan identitas
nasional Indonesia muncul.
Editan yang dipakai dalam film
dokumenter tersebut membuat penontonnya tidak bosan saat menonton. Karena, cuplikan-cuplikan
film legenda yang di tampilkan cukup menarik dan menghibur penonton,
disela-sela wawancara mengenai film aksi itu sendiri. Saya melihat disekitar
saya dan merasakan sendiri pada saat menonton pemutaran film tersebut.
Penting bagi para pembuat film untuk
menonton dokumenter Garuda Power ini,
karena dapat memberi pengetahuan bagaimana perkembangan filmaction Indonesia sejak dulu hingga
sekarang. Seperti perbandingan, film “Jaka Sembung” dengan “The Raid 1-2”.
Saya termasuk orang yang kurang menyukai
film-film aksi Indonesia atau legenda jaman dulu. Karena menurut saya, visual
yang ditampilkan kurang masuk akal dan secara kualitas gambarnya kurang
menarik. Aktor-aktornya pun tidak menarik bagi saya. Hingga muncul film The Raid 1, yang jauh lebih menarik dan
menghidupkan, serta mengubah gaya filmaction
Indonesia. Kesuksesan The Raid 1
memang saya akui karena secara gambar, cerita, visual effect dan lain sebagainya bagus dan jauh lebih menarik dari
film-film aksi Indonesia sebelumnya. Namun, tidak memiliki ciri khas Indonesia
sama sekali dan lebih mengikuti karakter film-filmaction barat pada umumnya. Dalam dokumenter Bastian, juga
menjelaskan bahwa film The Raid lebih
menawarkan pada adegan-adegan pukulan daripada perkelahian senjata. Karena
ingin menunjukan aksi bela diri yang ada di Indonesia. Namun, dalam jilid 2 nya, The Raid terkesan berlebihan dan
membosankan. Disitulah Garuda Power: The Spirit Within menjelaskan dan mengajak
penontonnya membandingkan film-film action
yang ada di Indonesia, juga memberitahu tanggapan-tanggapan banyak orang
tentang itu.
Secara teknis film dokumenter tersebut
cukup baik, karena tidak asal merekam saja tapi jelas, terencana dan dapat
dimengerti. Pergerakan kameranya-pun halus, bersih, tidak seperti film-film
dokumenter yang amatir. Perpindahan visualisasi wawancara ke cuplikan-cuplikan
film dan narasinya juga pas, menurut saya. Terlihat sangat terencana karena
sudah menyiapkan pertanyaan apa saja yang berkaitan, tahu siapa saja
narasumbernya, film-film apa yang akan ditampilkan, dan sebagainya.
Secara keseluruhan
film ini cukup menarik dan mudah dipahami, namun banyak yang belum tahu tentang
film ini. Mungkin, pembahasan yang diberikan sedikit kurang dipahami anak-anak
muda pemula seperti saya. Karena jujur saja, saya tidak mengenal pemain-pemain
film aksi Indonesia jaman dulu juga beberapa film yang ditampilkan. Saat
pembahasan tentang beliau ataupun sejarah film itu saya seidkit bingung, tapi
dokumenter Garuda Power memberikan
pengetahuan baru.
by: Veni Sylviani