Rabu, 07 November 2012

RESUME BUKU "PENGETAHUAN FILM DOKUMENTER"

RESUME BUKU
PENGETAHUAN FILM DOKUMENTER

Pengarang : Apip
Tahun Terbit : Januari 2012
Penerbit : Prodi Televisi dan Film STSI Bandung

Oleh
Adrian Gahinsah
NIM 1055214
Prodi Film dan Televisi

Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung
Jl. Buah Batu No. 212 Bandung
Buku “Pengetahuan Film Dokumenter” karya Apip yang terdiri dari 7 Bab ini dibuat didasari desakan sejumlah mahasiswa demi pemenuahan materi pembelajaran film dokumenter di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, serta dorongan dari Kaprodi Televisi dan Film STSI Bandung, bapak Arthur S. Nalan.
Pada bab pertama buku ini, membahas bagaimana “Film Sebagai Media Tutur”. Penulis mengutip istilah yang terdapat pada buku “How To Do Media and Culture Studies” karya Jane Stokes yang mengatakan bahwa pondasi budaya yang tertua sebagian besar disampaikan dalam bentuk kisah (2007:72). Seperti kita tahu, segala bentuk ajaran yg terdapat dalam agama, mitos, dongeng, balada, dan lain-lain berisi satu pesan khusus yang dikemas dalam bentuk kisah. Kisah bisa dituturkan dalam bentuk lisan maupun tulisan dan dituangkan dalam suatu media tertentu untuk disampaikan kepada khalayak ramai/umum. Hal tersebut bisa kita temukan dalam suatu artefak yang selama ini sudah sering ditemukan. Film merupakan salah satu bagian dari media, dikarenakan film bersisikan tayangan yang disampaikan kepada penonton/audience. Oleh sebab itu film bisa dikatakan sebagai suatu artefak media modern yang dibuat untuk ditonton melalui media gambar dan suara.
Selain itu pada bab ini penulis juga mengelompokan film berdasarkan gaya, bentuk dan isi. Terdapat dua genre kategori film, yakni film cerita (fiksi) dan film non cerita (non fiksi). Dalam perkembangannya, dua genre tersebut dikatakan saling mempengaruhi sehingga mampu melahirkan banyak genre baru.
Bab kedua buku ini bertajuk “Film Dokumenter”, dalam bab ini berisikan mengenai penjelasan istilah film dokumenter dari berbagai sumber maupun perkembangan wacana akan istilah film dokumenter itu sendiri dari masa ke masa. Misalnnya dijelaskan bahwa penulis mengambil istilah dokumenter dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang berarti dokumentasi (2002:272). Sedangkan tokoh-tokoh film dunia semisal Jhon Grierson yang mengkritisi film dokumenter pertama karya Robert Flatherty berjudul Moana pada tahun 1926 mengatakan “karya film dokumenter merupakan sebuah laporan aktual yang kreatif”. Istilah tersebut kemudian berkembang dan ditambahkan oleh Rosalind C. Morris yang mengatakan film dokumenter berdasar pada nilai kebenaran dan faktualitasnya. Bagi Morris film dokumenter berbeda dengan film cerita, karena pada film dokumenter tidak membutuhkan bumbu-bumbu ketegangan agar dipercaya sebagai kebenaran. Istilah-istilah tersebut kini menjadi acuan dalam triminologi film dunia.
Pada bab tiga, penulis mengambil judul “Sejarah Film Dokumenter”. Dijelaskan bahwa sejarah mencatat film dokumenter pertama di dunia adalah film yang dibuat oleh Lumiere Bersaudara, yaitu Aguste Marie Louise Lumiere (1862-1954) dan Louise Jean Lumiere (1864-1948). Film karya Lumiere bersaudara merekam peristiwa sehari-hari disekitarnya dengan bentuk sederhana (one shot), seperti buruh yang meninggalkan pabrik, kereta api memasuki stasiun, buruh bangunan yang bekerja, dan lain-lain. Film karya Lumiere Bersaudara tersebut merupakan tonggak pertunjukan film yang bisa dilihat secara masal pada masa itu. Karena film tersebut ditampilkan lewat proyektor ciptaan mereka sendiri.
Selain Lumiere Bersaudara, diceritakan pula sosok Robert Joseph Flaherty. Robert Joseph Flaherty sendiri merupakan seorang peneliti tambang biji besi di teluk Hudson. Bermula dari meneliti para pekerja tambang pada tahun 1916, Robert Joseph Flaherty tanpa sadar telah merekam kegiatan keseharian pekerja tambang tersebut selama 17 jam menggunakan kamera Bell&Howell miliknnya. Rekaman ini kemudian menjadi film dokumenter pertama yang dipertontokan kepada publik di Universitas Harvard. Sejak saat itu Robert joseph Flaherty mulai membuat karya documenter lainnya seperti Moana: A romance of the Golden Age (1926), The Twenty-four Dollar Island (1927), dan lain-lain. Sejak saat itu, lahir lah beberapa tokoh film documenter lainnya seperti Jhon Grierson dengan karyanya yang berjudul Drifters (1929), dan Dziga Vertov dengan tiga karya kompilasinnya, Anniversary of the Revolution (1919), The Battle of Tsarytsyn (1920), dan History of The Civil War (1922).
Dari kedua tokoh tersebut, saya tertarik dengan sejarah karya-karya dari sosok Dziga Vertov. Di sini saya akan sedikit mengulas apa yang penulis ceritakan tentang sosok Dziga Vertov. Vertov adalah seorang dokumentaris berkebangsaan Rusia yang lahir pada tanggal 2 Januari 1896. Vertov kini dikenal sebagai pelopor pembuatan film berita dan film feature, karena Vertov memiliki presepsi menarik tentang sebuah film. Menurutnya “kamera menyatakan mata film, dan film dokumenter bukan menceritakan suatu realitas objektif, melainkan suatu realitas berdasarkan pada apa yang terlihat dan terekam oleh kamera sebagai mata film”. Persepsi inilah yang banyak dijadikan acuan oleh para sineas film dokumenter hingga saat ini. Karena keyakinan penonton akan suatu realitas film dokumenter, berdasar dari apa yang terekam oleh kamera secara nyata dan apa adanya.
Pada tahun 2004 teori Vertov ini sukses diterapkan oleh sineas Amerika Serikat, Michael Moore yang berjudul Fahrenheit 9/11 yang menuai box office sejak kemunculannya. Pada filmnya, Moore menampilkan data-data berupa ratusan video footage, dan arsip fakta-fakta kebusukan pemerintahan Amerika pada saat itu yang dipimpin JW. Bush, serta hubungannya dengan klan Saudi Bin Laden. Dari data demi data yang Moore kumpulkan, ia berhasil merangkai dan mengaitkannya dengan tragedi 11 September, sehingga mampu menciptakan opini baru kepada masyarakat dunia tentang prespektif peristiwa 11 September.
Dari beberapa tokoh sineas dokumenter, terdapat tiga tokoh yang memiliki cara berbeda dalam penekanan konten dalam pembuatan film dokumenter. Robert Josph Flaherty menekankan pentingnya kreasi sinematografi pada saat shooting berlangsung, Grierson lebih menekankan pada skenario sebelum produksi dilakukan, sedangkan Vertov lebih percaya keunggulan film dokumenter terletak pada proses akhir/editing.
Bab 4 dijelaskan mengenai “Jenis dan Karakter Film Dokumenter”, yangmana subject matter film dokumenter berkaintan dengan data-data visual maupun audio seperti:
Visual:
1. Data visual langsung dari subject matter pada saat peristiwa terjadi (Observasionalisme Reaktif)
2. Melalui data pengamatan sebelumnya (Observasionalisme Proaktif)
3. Dengan pendekatan penggambaran secara langsung tentang apa yang dikatakan oleh narrator (Mode Ilustratif)
4. Arti simbolik yang terkandung dalam informasi harfiah subject matter (Mode Asosiatif)
Audio:
1. Pembicaraan langsung yang terkesan tidak disengaja dari dua sumber atau lebih (Overhead Exchange)
2. Kesaksian pendapat yang diungkapkan secara jujur oleh saksi mata
3. Berbicara langsung dengan kamera yang seakan penonton menerima informasi secara eksklusif (Eksposisi)
Dijelaskan pula ciri-ciri film dokumenter yang merupakan bentuk sinematik yang bersifat solid, terdiri dari unsur visual maupun audio.
Visual
1. Kronologi peristiwa dengan suasana nyata
2. Arsip, artikel, atau microfilm
3. Kesaksian/pernyataan narasumber
4. Narrator dan pewawancara
5. Still foto
6. Perbincangan para aktor social
7. Silhouette untuk memberikan tekanan pada audio atau merahasiakan narasumber
Audio
1. Narasi yang berisi voice over tanpa menghadirkan naratornya kedalam layar.
2. Suara asli dari peristiwa yang disatukan dengan gambar yang di relay (Synchronous)
3. Sound effect
4. Music ilustrasi
5. Hening, ketika memberi tekanan pada visualnnya.
Selanjutnya, pada Bab 5 dalam buku “Pengetauan Film Dokumenter” ini, penulis memberi judul yang menurut saya akan sangat menarik untuk dibaca, yaitu “Dokumentasi vs Film Dokumenter”. Akan tetapi apa yang penulis coba tuangkan tidak sesuai dengan apa yang Saya harapkan. Karena di dalamnya tidak dijelaskan perbandingan secara detail tentang “pertarungan” sebuah dokumentasi melawan film dokumenter. Istilah “vs” merupakan serapan bahasa Ingris dari kata “versus” yang jika diartikan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti lawan, melawan, atau dibandingkan dengan (google translate: 2012). Berarti, kata “vs” yang digunakan penulis, seharusnya berisikan komparasi atau perbandingan antara dokumentasi dan film dokumenter, mungkin bisa saja secara teknik penggarapan, perbedaan konten yang lebih signifikan, pengambilan gambar, karakter, syarat, dan lain-lain yang Saya sendiri blm memahami disiplin ilmu akan hal itu. Namun Saya akan mencoba menjelaskan isi yang terdapat dalam bab ini
Dijelaskan arti dokumentasi itu sendiri yaitu rekaman dari suatu peristiwa yang dibuat ketika kejadiannya berlangsung. Dokumenter selalu bersinggungan dengan dokumentasi, namun dokumentasi bukanlah film dokumenter. Dengan kata lain film dokumenter berisikan data-data hasil dokumentasi. Perbedaan antara film dokumenter dengan film dokumentasi adalah tersaji bukan sebagai cerminan pasif realitas. Dokumenter diproduksi setelah proses penafsiran atas realitas yang menjadi subject matternya.
Kemudian dua bab terakhir penulis mengangkat tema “Film Dokumenter Indonesia” pada bab 6, dan “Membuat Film Dokumenter” pada bab 7. Saya akan mencoba menjelaskan bab 6 terlebih dahulu.
Film dokumenter Indonesia kini telah menjadi media yang demokratis dalam menawarkan realitas masyarakat yang beragam di Indonesia. Tidak seperti saat masa Orde Baru. Pada masa itu film dokumenter dibuat untuk menciptakan opini kepada masyarakat mengenai perjalanan bangsa dengan mengetengahkan isu perubahan sosial, kekuatan ekonomi, politik, ideologi, dan sebagainya. Melalui film dokumenter, penonton dalam hal ini masyarakat Indonesia, diarahkan kepada prespektif tertentu yang berguna sebagai pendukung kebijakan pemerintah pada saat itu. Karena karya-karya film dokumenter harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dan diinstruksikan oleh penguasa saat itu.
Seiring perkembangannya, film dokumenter Indonesia belum mendapat perhatian yang sebanding dengan film fiksi/cerita. Salah satu buktinya adalah termarjinalkannya film documenter dari penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI). Namun sambutan hangat terhadap film documenter justru diberikan oleh stasiun tv swasta Indonesia, salah satunya Metro TV yang telah memiliki program Eagle Award sejak tahun 2005. Selain beberapa televise swasta Indonesia, apresiasi juga dating dari In-Docs. In-Docs merupakan distributor bagi karya-karya film dokumenter anak bangsa, dan juga sebagai mediator antara pembuat film dengan donatur atau stasiun tv. Didalam bab ini dijabarkan 8 film yang berhasil didistribusikan In-Docs dari tahun 2005-2007. Namun selain In-Docs, masih banyak lagi film-film yang dibuat dan didistribusikan baik secara perseorangan ataupun komunitas penggiat film dokumenter.
Bab terakhir yaitu bab 7, penulis mengangkat judul “Membuat Film Dokumenter”. Pada bab ini dijelaskan tahapan cara membuat film dokumenter, yaitu:
1. Menggali Ide
Ide bisa bersumber dari pengalaman atau peristiwa yang terjadi. Ide bisa muncul dimana saja, dan kapan saja tergantung kepekaan kita dalam membaca peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari
2. Riset dan Produksi
Riset/penelitian dalam membuat film documenter dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
a. Studi Pustaka (subject matter berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan orang lain)
b. Seliminary Research (memastikan keberadaan subject matter serta unsur yang terkait)
3. Produksi
Produksi disini adalah teknik mengumpulkan data lapangan dalam penelitian dengan menggunakan kamera video untuk merekam data-data audio dan visual. Teknik pengumpulan data ini bisa berupa wawancara dan pengamatan.
4. Pasca Produksi
Merupakan tahap terakhir dalam proses pembuatan film, yang lebih kita kenal editing. Data-data yang terkumpul kemudian diperiksa, dipilah, untuk kemudian disusun sebagai ringkasan data. Hasil ringkasan tersebut kemudian dianalisis untuk dikristalisasi membentuk moral atau nilai yang akan disampaikan kepada penonton. Pada proses ini film documenter akan dibuat secara lebih dramatik agar lebih menarik sebagai sajian film yang utuh.
Kesimpulan yang saya dapat setelah membaca buku “Pengetahuan Film Dokumenter” yang ditulis oleh Bpk. Apip selaku dosen Prodi Film dan Televisi STSI Bandung yaitu, buku ini merupakan bentuk usaha mulia akan pemenuhan materi perkuliahan film dokumenter umumnya di Indonesia, khususnya di STSI Bandung. Seperti kita tahu, keterbatasan akan materi film dokumenter yang ada pada saat ini telah menghambat berkembangnya wawasan masyarakat akan film documenter. Hal tersebut berimbas pada minimnya tingkat produksi film dokumenter hasil karya anak bangsa Indonesia saat ini.
Saya pribadi sangat mengapresiasi tinggi hadirnya buku ini. Dengan membaca buku ini wawasan Saya akan sejarah, jenis, karakter, dan cara membuat film dokumenter semakin terbuka lebar. Dengan demikian diharapkan kepada seluruh pembaca, khususnya Saya pribadi, mampu berbuat banyak terhadap perkembangan industri film dokumenter di Indonesia. Namun masih ada beberapa kekurangan selama Saya membaca dan mempelajari buku ini. Penggunaan istilah “vs” pada judul bab 5 tidak tepat. Hal tersebut berdasar kepada arti “vs” itu sendiri yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Mungkin penulis bisa menggantinya dengan judul “keterkaitan dokumentasi pada film dokumenter” atau judul lain yang menjelaskan keterkaitan maupun perbedaan antara dokumentasi dengan film dokumenter. Selain itu, banyaknya kutipan dan istilah yang digunakan, sedikit mengganggu prespektif Saya akan pengertian dasar film dokumenter. Mungkin penulis mencoba memberikan banyak wacana dari tokoh-tokoh sejarah film, namun penulis seolah lupa mengkerucutkan pemahaman akan arti dokumenter itu sendiri secara lebih spesifik, dikarenakan banyaknya ide ataupun wawasan yang coba dibangun penulis bagi pembaca. Tapi Saya rasa pendapat saya ini mungkin akan berbeda dengan pembaca yang lain. Hal tersebut wajar adanya dikarenakan sudut pandang manusia arbiter dan terbatas.

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata, dan kekurangan hanya milik kita manusia. Akantetapi ayahanda Saya pernah mengatakan, “tidak ada salahnya mencoba untuk menjadi sempurna meski dengan cacian dan koreksian, daripada selalu merasa tidak sempurna dan menjadi seorang pengecut karna takut akan cacian”.

-Terima Kasih-

Sumber : adriangahinsah.blogspot.com

2 komentar: